Qur'an Flash

Qur'an Flash
"Dan Bacalah Qur'an dengan tartil" (sangat berguna terutama bagi mereka yang sedang haidh atau nifas yang tidak memungkinkan untuk menyentuh qur'an secara langsung)

Senin, 14 Maret 2011

Berbagi Hikmah (2): Kisah Tsa'labah

Assalaamu'alaykum semuanya.....fiiiuuuh...hampir sebulan tidak menulis apa-apa di blog ini, hehe....'afwan ya, karena saya baru masuk "sekolah" lagi sehingga agak susah membagi waktunya. Hmm....mungkin kali ini saya akan sharing kisah tentang sahabat yang saya dengar dari mu'allimah yang mengajar tahsin dan tajwid di sekolah saya.
Beliau -hafidzokillaahuta'ala- menceritakan kisah ini ketika menjelaskan tentang  ayat di surat al-Muthoffifiin " kallaa bal----roona 'alaa quluubihim", ya...pada ayat ini beliau berhenti dan menceritakan kisah ini.

Mu'allimah: Tahukah kalian mengapa ALLAH memberikan saktah pada ayat Al-Qur'an?
Murid A: Agar ada waktu untuk istirahat sejenak
Murid B: Agar  bisa berhenti sejenak
Mu'allimah: yaa...mungkin itu sebagian manfaatnya, tapi ada yang lebih penting lagi dari itu, hmm??? Coba sekarang kalian dengarkan saya baik-baik.

Lalu mu'allimah mengucapkan dua kalimat serupa, hanya saja kalimat pertama tanpa berhenti (saktah), kalimat kedua dengan saktah. Contoh:
1. Bahkan hati-hati mereka tertutup oleh sebuah tutupan (baca terus dengan nada datar)
2. Bahkan--------hati-hati mereka tertutup oleh sebuah tutupan (berhenti setelah kata bahkan, tanpa mengambil nafas, lalu lanjutkan ke kata selanjutnya).

Mu'allimah: Apa yang berbeda?
Murid C: Mungkin agar kita lebih memberi perhatian ke kalimat selanjutnya
Mu'allimah: Ahsanti.....Saktah digunakan, agar orang yang mendengar ayat ini, untuk lebih memberi perhatian pada kalimat selanjutnya setelah berhenti sejenak.

Lalu kemudian mu'allimah melanjutkan pertanyaannya:
Mu'allimah: Roona 'alaa quluubihim, tahukah kalian apa maksud Roona disini?
Murid: ---------------------------
Mu'allimah: Roona disini dimaksudkan pada sebuah tutupan yang menutupi hati. Seperti yang kalian ketahui, jika seseorang melakukan maksiat, maka akan ada satu titik hitam dihatinya. Semakin ia memperbanyak perbuatannya maka titik hitam itu akan semakin banyak sampai menutupi hatinya. Apa yang terjadi ketika hati itu sudah tertutup oleh titik hitam itu semuanya? Ya...hati itu akan sakit. Bagaimana jika hati yang sakit ini terus dilapisi oleh semacam selimut hitam yang berlapis-lapis, apa yang terjadi? Ya, hati itu akan MATI.

Jangan pernah meremehkan satu maksiat pun. Misalnya: "Ah ga pa pa saya tunda sholat, cuma sekali ini saja koq, lagian saya sudah sering tilawah, sering tahajud." Atau "Ah ga papa cuma melihat wanita non mahrom sekali saja, lagian gak sengaja, ini kan nikmat." Hehehe...berkaitan dengan pandangan ini, ada pelajaran bagus dari shahabat tsa'labah -radiyallaahu'anhu-


Tsa'alabah, adalah salah seorang shahabat Rasulullah -sholallaahu'alaihi wasallam-.Suatu hari ia sedang berjalan di antara rumah-rumah. Dahulu rumah-rumah tersebut, tidak terbuat dari dinding yang tebal (tembok) seperti sekarang ini, tapi terbuat dari qoomis (saya rasa yang dimaksudkan disini adalah sejenis kain, atau sesuatu yang tipis yang bergerak ketika ada angin). Ia berjalan, dan bertiuplah angin. Tak disangka, angin tersebut, menyingkapkan kain yang menutupi sebuah rumah. Tsa'labah melihat ke arah rumah tersebut, dan tak sengaja melihat seorang wanita ( tentu saja yang dimaksud disini wanita non-mahrom) di dalamnya. Terkejut Tsa'labah....tiba-tiba dia merasa sangat berdosa, dia merasa..." sesungguhnya jika turun ayat tentang orang munaafikin, maka ayat itu ditujukan kepadaku, aku telah bermaksiat, aku telah bermaksiat.....". Tsa'labah tidak berani menjumpai Rasulullah -sholallaahu'alaihi wasallam-. Dia merasa sangat berdosa sudah melihat wanita tersebut. Akhirnya ia pergi ke puncak gunung, beribadah, dan beristigfar.

Setelah sekian lama, para shahabat tersadar bahwa Tsa'labah tidak ada bersama mereka. Maka mulailah para shahabat mencari Tsa'labah. Tiba-tiba ada seseorang yang memberi tahu kepada mereka, orang tersebut berkata," saya mendengar dari arah puncak gunung, ada seseorang yang sepanjang hari beristigfar, berdo'a dan pada malam hari terdengar isak tangis, memohon ampun kepada ALLAH, orang ini hanya turun sedikit dari puncak gunung untuk makan dan minum sekedarnya." Maka berangkatlah para shahabat ke tempat tersebut dan menemukan Tsa'labah di sana. Para shahabat bertanya," Apa yang kau lakukan disini?" lalu Tsa'labah menjawab, " Aku telah bermaksiat, aku telah berdoa, aku telah berdosa." Lalu para shahabat berkata, " Ayo bertemu rasululullah". Tsa'labah menjawab, " Tidak, Rasulullah Thoohir (suci), sedangkan aku Naajis (kotor)." Akhirnya pulanglah para shahabat dan menceritakan tentang Tsa'labah pada Rasulullah- sholallaahu'alaihi wasallam-.

Kemudian di hari berikutnya, para shahabat mendatangi Tsa'labah lagi, mereka berkata, "Ayo bertemu Rasulullah." Tsa'labah, "Tidak, aku tidak sanggup bertemu Rasulullah, Rasulullah Thoohir, sedangkan aku naajis." Para Shahabat berkata, "Tapi Rasulullah yang menyuruhmu untuk bertemu dengannya." Maka turunlah Tsa'labah dari gunung dan menemui Rasululah - sholallaahu'alaihi wasallam-. Di depan Rasulullah- sholallaahu'alaihi wasallam-, Tsa'labah menangis dan menceritakan kejadian yang dialaminya. Rasulullah terdiam. Sedangkan Tsa'labah akhirnya pulang ke rumahnya. Di rumahnya, Tsa'labah terus beribadah, beristigfar, dia masih merasa sangat berdosa. Hal itu terus menerus ia lakukan sampai ia jatuh sakit. Ketika ia terbaring lemah dirumahnya, Rasulullah - sholallaahu'alaihi wasallam- datang menjenguknya. Rasulullah - sholallaahu'alaihi wasallam- hendak meletakkan kepala Tsa'labah di paha beliau, namun Tsa'labah menolak, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Engkau thoohir, pahamu pun thoohir, sedangkan aku naajis, dan kepalaku pun naajis." Dan wafatlah Tsa'labah.

Pada hari pengantaran jenazah Tsa'labah, Rasulullah - sholallaahu'alaihi wasallam- ikut pula mengantarkannya. Namun ada sesuatu yang aneh! Rasulullah - sholallaahu'alaihi wasallam- berjalan dengan berjinjit, dan merapatkan kedua bahunya, seakan-akan sedang berjalan di kerumunan orang banyak, padat, dan tidak ada ruang untuk berjalan normal (seperti seseorang sedang thawaf di Baitullah pada musim haji, terj.). Lalu para shahabat yang melihat hal tersebut bertanya,"Wahai Rasulullah, mengapa engkau berjalan seperti itu?" Rasulullaah -sholallaahu'alaihi wasallam- menjawab, " Saya berjalan seperti ini, karena saking banyaknya Malaikat yang ingin ikut mengantarkan jenazah Tsa'labah."

Allaahu Akbar!!!

Hmm...mu'allimah kami kembali berkata, " Itulah bedanya kita dengan mereka (para salaf)...mereka melihat sebuah dosa itu BESAR, sedangkan kita tidak..."

Allaahumusta'an. Alhamdulillaahirobbil'alamiin.
















Nb: Kisah ini saya terjemahkan bebas dari mu'allimah kami ketika membahas surat Al-Muthoffifiin. Dan mohon maaf karena saya tidak bisa memberi sumbernya. Namun mu'allimah kami berkata ini shohih, dan tidak menyebutkan riwayat haditsnya. Tapi, kalau ada yang ketemu atau pernah mendengar kisah ini dan mengetahui sumbernya, bagi-bagi ya..... Syukron. Semoga bermanfaat. Allaahu a'lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar