Imunisasi? Hmm...
IMUNISASI DARI SEGI MEDIS
Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal. Anak diimunisasi, berarti diberikan vaksin untuk merangsang timbulnya kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu sesuai dengan jenis vaksin yang diberikan. Oleh karena itu, seseorang yang divaksinasi kebal terhadap suatu penyakit tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain.
Bayi dan anak balita merupakan kelompok usia yang rentan terhadap penyakit menular. Kelompok usia yang rentan ini perlu lindungan khusus (specific protection) dengan imunisasi baik imunisasi aktif maupun pasif. Obat-obat profilaksis tertentu juga dapat mencegah penyakit malaria, meningitis dan disentri basilus. Pada anak usia muda, gizi yang kurang akan menyebabkan kerentanan pada anak tersebut. Oleh sebab itu, meningkatkan gizi anak adalah juga merupakan usaha pencegahan penyakit infeksi pada anak.
Vaksin ialah suatu perbenihan kuman-kuman yang sudah dibunuh atau dilemahkan. Imunisasi bertujuan untuk merangsang timbulnya kekebalan dari dalam tubuh dengan memasukkan vaksin. Bila seseorang mendapat suntikan vaksin TCD (Tifus, kolera dan Disentri), maka tubuh orang itu akan mengadakan reaksi terhadap vaksin tersebut, yakni dengan membuat antibodi. Setelah antibodi tersebut terdapat dalam tubuh dalam kadar yang cukup, maka untuk waktu yang tertentu orang itu akan kebal terhadap penyakit tifus, cholera dan disenteri. Jadi tujuan vaksinasi dengan vaksin ialah untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit yang bersangkutan.
Kadar antibodi di dalam darah lambat laun akan menurun. Karena itu penyuntikan dengan vaksin-vaksin perlu diulangi dan suntikan ulangan ini tergantung pada macamnya vaksin. Imunisasi atau vaksinasi hanya diberikan kepada orang-orang yang sehat saja.
Kekebalan terhadap suatu penyakit menular dapat digolongkan menjadi 2, yakni:
1. Kekebalan tidak spesifik
Kekebalan tidak spesifik adalah pertahanan tubuh pada manusia yang secara alamiah dapat melindungi badan dari suatu penyakit. Misalnya kulit, air mata, cairan-cairan khusus yang keluar dari perut (usus), adanya refleks-refleks tertentu, misalnya batuk, bersin dan sebagainya.
2. Kekebalan spesifik
Kekebalan spesifik dapat diperoleh dari 2 sumber, yakni:
(1) Genetik, kekebalan yang berasal dari sumber genetik ini biasanya berhubungan dengan ras (warna kulit dan kelompok-kelompok etnis, misalnya orang kulit hitam (negro) cenderung lebih resisten terhadap penyakit malaria jenis vivax. Contoh lain, orang yang mempunyai hemoglobin S lebih resisten terhadap penyakit plasmodium falciparum daripada orang yang mempunyai hemoglobin AA.
(2) Kekebalan yang Diperoleh (Acquired Immunity)
yaitu kekebalan ini diperoleh dari luar tubuh anak atau orang yang bersangkutan. Kekebalan dapat bersifat aktif dan dapat bersifat pasif. Kekebalan aktif dapat diperoleh setelah orang sembuh dari penyakit tertentu. Misalnya anak yang telah sembuh dari penyakit campak, ia akan kebal terhadap penyakit campak. Kekebalan aktif juga dapat diperoleh melalui imunisasi yang berarti ke dalam tubuhnya dimasukkan organisme patogen (bibit) penyakit.
Kekebalan pasif diperoleh dari ibunya melalui plasenta. Ibu yang telah memperoleh kekebalan terhadap penyakit tertentu misalnya campak, malaria dan tetanus maka anaknya (bayi) akan memperoleh kekebalan terhadap penyakit tersebut untuk beberapa bulan pertama. Kekebalan pasif juga dapat diperoleh melalui serum antibodi dari manusia atau binatang. Kekebalan pasif ini hanya bersifat sementara (dalam waktu pendek saja).
Beberapa contoh vaksin yang sering digunakan untuk mencegah timbulnya penyakit adalah:
1. Vaksin TCD
Vaksin tetra mengandung bibit-bibit penyakit kolera, tifus, paratifus A dan paratifus B yang sudah dimatikan atau dilemahkan. Tetra berarti empat, sesuai dengan jumlah kuman yang terkandung di dalam vaksin tersebut. Vaksin tetra juga disebut sebagai vaksin kotipa (kolera, tifus, dan paratifus. Vaksin BCG (singkatan dari Bacille Calmette Guerin). Vaksin BCG tediri dari basil-basil TBC hidup tetapi telah dilemahkan sehingga tidak berbahaya lagi. Penyuntikan vaksin ini pada bayi atau anak-anak, diharapkan memberikan kekebalan terhadap serangan penyakit TBC. Vaksin BCG bukan dipakai untuk mengobati penyakit TBC dan juga bukan untuk mengetahui apakah seseorang menderita penyakit TBC. Suntikan vaksin BCG diberikan khusus untuk mendapatkan kekebalan yang khas, yakni kekebalan terhadap penyakit TBC.
3. Vaksin cacar
4. Vaksin Salk ialah vaksin yang diberikan kepada anak-anak untuk mendapat kekebalan terhadap penyakit polio penyakit lumpuh anak-anak).
5. Vaksin Otten ialah vaksin yang disuntikan kepada orang-orang untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit pes.
6. Vaksin TCD, vaksin tetra, dan vaksin cacar disebut vaksin mati. Lawannya ialah vaksin hidup, misalnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kekebalan
Banyak faktor yang mempengaruhi kekebalan antara lain umur, seks, kehamilan, gizi dan trauma.
Umur, untuk beberapa penyakit tertentu pada bayi (anak balita) dan orang tua lebih mudah terserang. Dengan kata lain orang pada usia sangat muda atau usia tua lebih rentan, kurang kebal terhadap penyakit-penyakit menular tertentu. Hal ini mungkin disebabkan karena kedua kelompok umur tersebut daya tahan tubuhnya rendah.
Seks, untuk penyakit-penyakit menular tertentu seperti polio dan difteria lebih parah terjadi pada wanita daripada pria.
Kehamilan, pada wanita yang sedang hamil pada umumnya lebih rentan terhadap penyakit-penyakit menular tertentu misalnya penyakit polio, pneumonia, malaria serta amubiasis. Sebaliknya untuk penyakit tifoid dan meningitis jarang terjadi pada wanita hamil.
Gizi, asupan gizi yang baik pada umumnya akan meningkatkan resistensi tubuh terhadap penyakit-penyakit infeksi tetapi sebaliknya kekurangan gizi berakibat kerentanan seseorang terhadap penyakit infeksi.
Trauma, akibat salah satu bentuk trauma adalah merupakan penyebab kerentanan seseorang terhadap suatu penyakit infeksi tertentu.
Jenis-jenis Imunisasi
Pada dasarnya ada 2 jenis imunisasi, yaitu:
1. Imunisasi pasif (Pasive Immunization).
Imunisasi pasif ini adalah immuno-globulin. Jenis imunisasi ini dapat mencegah penyakit campak (measles pada anak-anak).
2. Imunisasi aktif (Active Immunization).
Imunisasi yang diberikan pada anak adalah: BCG untuk mencegah penyakit TBC. DPT untuk mencegah penyakit-penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Polio untuk mencegah penyakit poliomielitis. Campak untuk mencegah penyakit campak (measles).
Imunisasi pada ibu hamil dan calon pengantin adalah imunisasi tetanus toksoid. Imunisasi ini untuk mencegah terjadinya tetanus pada bayi yang dilahirkan.
Tujuan Program Imunisasi Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada saat ini, penyakit-penyakit tersebut adalah disentri, tetanus, batuk rejan (pertusis), campak (measles), polio dan tuberkulosa.
PENTINGNYA IMUNISASI TT IBU HAMIL
Mengapa Ibu hamil dianjurkan untuk imunisasi TT(tetanus toxoid)? Ya! untuk mencegah penyakit tetanus pada bayi yang akan dilahirkan !. Jadi para bumil janganlah malas untuk pergi imunisasi.
Tetanus adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani yang masuk melalui luka terbuka dan menghasilkan racun yang kemudian menyerang sistem saraf pusat. Bakteri ini secara umum terdapat ditanah,jadi ia bisa ditemukan pada debu, pupuk, kotoran hewan,dan sampah. Tetanus ini menyerang siapa saja,anak – anak juga orang dewasa. Bahkan bayi baru lahir sekalipun, yang bisa berakibat fatal.! Penyakit yang menterang bayi itu biasa disebut Tetanus neonatorum. Tetanus biasanya menyerang bayi -bayi yang lahir ditempat yang tidak bersih dan tidak menggunakan alat – alat persalianan yang steril. atau juga riwayat dari ibu hamil yang mungkin terluka sebelum melahirkan yang lukanya mengandung bakteri tetanus tersebut.
Salah satu pencegahan terkena penyakit ini,bumil haruslah menjaga kebersihan dan melahirkan ditolong oleh tenaga kesehatan yang profesional. dan yang penting juga Bumil harus imunisasi .Perlu ibu ketahui imunisasi TTadalah proses membangun kekebalan sebagai pencegahan terahadap infeksi tetanus. Dimana imunisasi tersebut bisa diberikan pada bumil pada trimester I a/d trimester III.
Adapun manfaat imunisasi TT ibu hamil adalah bisa melindungi bayinya yang baru lahir dari tetanus neonatorum dan melindungi ibu terhadap kemungkinan tetanus apabila terluka. dan ibu tidak usah terlalu khawatir,imunisasi ini tidak ada efek sampingnya kok. Bila pun ada,itu hanya gejala ringan seperti nyeri ,kemerahan dan pembengkakan kecilpada tempat suntikan dan akan hilang dalam 1-2 hari tanpa tindakan pengobatan. Karena TT adalah antigen yang sangat aman untuk Bumil dan juga janin. So,jangan malas untuk imunisasi TT ya bu!. Hanya 2 kali yaitu TT pertama dapat diberikan sejak diketahui setelah positif hamil dan TT kedua minimal setelah TT pertama. Sedangkan batas terakhir pemberian TT yang kedua adalah minimal 2 minggu sebellum melahirkan. Dan Akan lebih bagus lagi bila iBu imunisasi TT sebelum anda hamil.
KB TERSELUBUNG?
Masyarakat luas saat ini tengah diresahkan oleh kabar bahwa imunisasi TT (Tetanus Toksoid) merupakan suatu metoda KB terselubung yang dilakukan oleh pemerintah untuk menekan laju populasi. Namun apabila ditelaah lebih lanjut ternyata pernyataan tersebut hanya disimpulkan dari opini subyektif beberapa keluarga yang mengeluh sulit memiliki keturunan setelah mendapatkan imunisasi TT sebelum menikah. Bukan didasari atas bukti yang obyektif. Hal ini didukung oleh variasi kasus yang ditemukan, bahwa hanya sebagian kecil dari seluruh pasangan yang telah mendapatkan imunisasi TT sebelum menikah, yang kemudian mengeluh sulit memiliki keturunan.
Imunisasi TT yang dilakukan pada perempuan usia reproduksi atau pada ibu hamil sebenarnya bertujuan untuk melindungi bayi yang akan lahir dari penyakit tetanus neonatorum. Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang dari 28 hari) yang disebabkan oleh Clostridium tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) dan menyerang sistem saraf pusat. Selain itu, pemberian vaksin ini juga dapat melindungi ibu terhadap kemungkinan tetanus apabila terluka.
Imunisasi ini sebenarnya diberikan kepada setiap perempuan yang akan menikah, namun untuk menghindari rumor yang beredar tersebut maka imunisasi TT sebaiknya dilakukan selama kehamilan.Berdasarkan petunjuk BKKBN, imunisasi TT diberikan sebanyak 2 kali dengan interval waktu 4 minggu antara imunisasi pertama dengan imunisasi kedua. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak benar berita yang beredar mengenai suntik TT sebagai program KB terselubung pemerintah. Bahkan suntik KB hormonal saja harus dilakukan secara periodik setiap bulan atau setiap 3 bulan, tidak bisa hanya dengan dua kali suntikan seperti pada imunisasi TT. Oleh karena itu Anda tidak perlu merasa khawatir. Pasangan baru dikatakan infertil apabila masih belum memiliki keturunan setelah satu tahun menikah dengan frekuensi hubungan seksual setiap 2-3 hari sekali.
IMUNISASI PADA BAYI
Hampir sebulan sekali bayi pasti dibawa ke dokter untuk imunisasi. Merunut peraturan WHO yang ada di UCI (Universal Child Imunization), imunisasi untuk bayi atau anak usia 0-1 tahun terdiri dari BCG, DPT, Polio, Campak, Hepatitis B dan MMR. “Khusus MMR, pemerintah kita belum mewajibkannya. Pertimbangannya, vaksin ini masih diimpor sehingga harganya relatif mahal, yaitu sekitar Rp. 120 ribu.” Nah berikut ini ada wawancara dengan dr. H. Adi Tagor, Sp.A, DPH dari RS. Pondok Indah, Jakarta.
Lebih jauh dijelaskan Adi, imunisasi sebenarnya terdiri dari 2 golongan. Golongan pertama adalah imunisasi yang harus selesai sebelum usia setahun (lihat boks Jenis Imunisasi Bayi) dan golongan kedua adalah imunisasi yang tak boleh dilaksanakan pada usia di bawah setahun.
Namun demikian, patokan usia sebagaimana yang ditulis dalam jadwal iminusasi di rumah sakit ataupun puskesmas dan poli anak maupun di buku-buku kesehatan anak, bukanlah patokan baku. Misalnya, imunisasi DPT ke-1 yang dijadwalkan pada usia 2 bulan, DPT ke-2 di usia 3 bulan dan DPT ke-3 di usia 4 bulan. Bukan berarti setiap bayi harus diimunisasi DPT pada usia-usia tersebut. Yang penting, sebelum usia setahun si bayi harus sudah diimunisasi DPT lengkap.
Memang, ada beberapa imunisasi yang sebaiknya dilakukan tepat berdasarkan umur. Misalnya, BCG, sebaiknya dilaksanakan setelah bayi berusia 1 bulan atau 1 bulan lebih 1 minggu. “Sebenarnya BCG bisa dilaksanakan sewaktu bayi berumur sehari. Namun menurut penelitian, imunisasi BCG akan efektif bila bayi sudah berumur sebulan atau sebulan lebih seminggu. Alasannya, karena imunologi terhadap BCG belum bisa bangkit dengan baik pada bayi yang baru lahir,” terangnya.
Imunisasi lain yang sebaiknya dilaksanakan tepat umur ialah Campak, yaitu di usia 9 bulan. Mengapa? Karena pada umumnya, hampir semua ibu sudah pernah kena campak. “Nah, sewaktu hamil, dia mewariskan kekebalannya pada janin yang dikandungnya melalui plasenta. Kekebalan ini bertahan hingga bayi berusia 8 bulan. Itulah mengapa vaksinasi Campak harus dilakukan di usia 9 bulan. Jadi, sebelumnya bayi masih ada kekebalan campak dari ibunya,” terang Adi.
Pentingnya HiB
Selain soal jadwal imunisasi, yang kerap membingungkan para ibu ialah imunisasi HiB (Hemophilus Influenzae type B). Pasalnya, tak setiap dokter menganjurkan imunisasi ini. Beberapa dokter memang memandang imunisasi ini tak perlu, sebab imunisasi yang dimaksudkan untuk menghindari radang selaput otak ini, selain harganya mahal, juga penyakit tersebut memang di Indonesia sangat jarang terjadi. Umumnya penyakit radang selaput otak banyak dijumpai di negeri dingin, seperti Australia, Amerika, atau negara-negara di Eropa.
Namun, bukankah pasien berhak diberi tahu atau istilah kedokterannya, informed concent? Setuju atau tak setuju dilakukan, dikembalikan pada diri orang tua si pasien. Iya, kan! Terlebih lagi, komunikasi di negeri kita sudah mengglobalisasi, terutama untuk Jakarta dan Bali. “Coba saja, bila kita berjalan-jalan di mal atau berenang, pasti kita bertemu anak bule. Nah, kalau nggak disuntik HiB bayi pun bisa terkena. Akibatnya sangat fatal, karena langsung ke selaput otak dan dapat menimbulkan kematian dengan cepat. Kalaupun sembuh, si anak bisa cacat seperti orang terkena stroke.” Jadi, sarannya, bila memang orang tua cukup mampu, apa salahnya si bayi diberi imunisasi HiB. Toh, tak ada ruginya.
Imunisasi HiB, dilaksanakan 3 kali. Dua kali dilakukan pada saat bayi berusia di bawah setahun dan sekali dilakukan di atas usia setahun. Jarak waktu imunisasi HiB yang pertama dan kedua adalah sebulan, sedangkan HiB ketiga dilakukan setelah setahun. Oleh karena itu, bila orang tua ingin mengajak bayinya pergi ke negeri dingin, sebaiknya si bayi sudah disuntik “tiga-satu”. Artinya, 3 kali di bawah usia setahun dan satu kali di atas usia setahun. Jadi, 4 kali suntikan. “Kalau mau aman, sebelum berangkat disuntik sekali lagi.”
Lho, apa nanti nggak kelebihan? Ternyata tidak. Menurut Adi, kelebihan pun nggak apa-apa. Bahkan, mau dilakukan sampai 10 kali juga nggak apa-apa. Tapi kalau sampai 3 kali dinilai sudah cukup, ya tak perlu lebih. Bukankah harganya mahal?
Hal ini juga berlaku untuk semua jenis imunisasi. Sebab imunisasi bukan obat. Kalau obat, bisa overdosis. Namun imunisasi tidak. Jadi Bu, kalau memang lupa apakah si bayi sudah diimunisasi atau belum, tak ada salahnya Ibu lakukan lagi imunisasi. “Daripada bingung-bingung, suntik saja sekali lagi, nggak akan bahaya kok malah biar safe,” kata Adi.
EFEKTIVITAS IMUNISASI
Soal tempat dilaksanakannya, imunisasi bisa di mana saja. Entah di rumah sakit, di poli anak, maupun di puskesmas. Asal jangan di rumah; tapi para dokter biasanya juga nggak berani melaksanakan imunisasi di rumah. Pasalnya vaksin untuk imunisasi harus disimpan di lemari pendingin. Jadi, kalau lampu mati sehingga lemari pendingin tak bekerja, maka vaksin-vaksin tersebut sudah tak efektif lagi.
“Di rumah sakit besar biasanya memiliki special storage atau tempat penyimpanan khusus. Juga kalau lampu mati, generator langsung hidup,” tutur Adi. Tapi toh kita tak perlu khawatir terhadap rumah sakit kecil ataupun puskesmas yang tak memiliki tempat penyimpanan khusus maupun generator. Karena kalau sampai terjadi listrik padam, maka pihak rumah sakit/puskesmas tersebut akan segera meletakkan vaksin-vaksin imunisasi di antara es batu agar tetap bisa efektif pada saat digunakan.
Lantas bagaimana mengukur efektivitas dari vaksin-vaksin tersebut? Menurut Adi, caranya dengan mengambil darah. “Tapi hal ini jarang dilakukan karena biayanya yang terlalu mahal.” Namun ada beberapa imunisasi yang jelas-jelas bisa diukur; antara lain imunisasi BCG. “Suntikan ini akan membuat suatu tanda seperti ‘bisul’ kecil di tempat yang disuntik, entah itu di lengan kanan atau pantat sebelah kiri.”
Nah, bila “bisul” tersebut tak muncul berarti imunisasinya gagal dan harus diulang. Pengulangan bisa dilakukan kapan saja. “Tapi sebaiknya sebelum usia setahun. Karena setelah usia setahun, biasanya anak sudah banyak dibawa ke mana-mana sehingga bisa tertular TBC. Bukankah data TBC di Indonesia masih yang tertinggi di dunia, seperti juga di India dan Bangladesh? Nah, bila anak tak diproteksi, maka ia akan gampang terkena TBC,” jelas Adi.
Selain BCG, imunisasi Hepatitis B juga bisa diukur dengan cara yang tak terlalu mahal, yaitu dengan cara mengecek kadar Hepatitis B-nya setelah anak berusia setahun.” Dari hasil tes dokter akan mendapat angka. Di atas 1000 berarti daya tahannya 8 tahun; di atas 500 tahan 5 tahun; di atas 200 tahan 3 tahun. Tapi kalau angkanya cuma 100 maka dalam setahun akan hilang. Sementara bila angkanya nol berarti si bayi harus disuntik ulang 3 kali lagi.
Yang patut disadari orang tua, imunisasi tak bisa memproteksi bayi hingga 100 persen. “Bila bayi bisa terproteksi sampai 80 persen saja, itu sudah bagus; karena banyak hal yang memperngaruhi imunisasi, salah satunya adalah gizi dan kesehatan bayi.” Selain itu, efektivitas imunisasi hanya bertahan sekitar 5-10 tahun. Jadi di antara usia tersebut anak perlu diimunisasi lagi atau istilahnya booster (penguat).
JENIS IMUNISASI (0-1 TAHUN)
* BCG (Bacille Calmette Guerin).
Manfaatnya untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit TBC (tuberkolosis); diberikan hanya 1 kali. Usia efektif dilakukannya imunisasi pada 1 bulan atau 1 bulan 1 minggu. Suntikan ini akan menampakkan “bisul” kecil di daerah yang disuntik. Bila tidak, harus dilakukan suntikan ulang. Sayang memang mayoritas anak kecil diberi “scar” pada kulitnya; tapi……… proteksi dari penyakit TBC yang di Indonesia adalah salah satu peringkat tertinggi di dunia dinilai jauh, jauh, jauh lebih penting dibanding sekedar “bisul” kecil pada kulit sang anak.
* DPT (Difteri Pertusis Tetanus) + Polio.
Untuk mencegah timbulnya penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Biasanya setelah 6 jam bayi akan mengalami panas atau timbul uneasy feeling seperti tak mau makan atau murung. Tapi ini hanya efek sementara.
DPT bisa digabungkan dengan Polio, sehingga imunisasi menjadi DPT Polio. Imunisasinya dilaksanakan sebanyak 4 kali; 3 kali di bawah usia setahun dan 1 kali di atas usia setahun.
* Hepatitis B.
Agar bayi memiliki kekebalan terhadap penyakit hepatitis B. Imunisasinya dilakukan sebanyak 3 kali. Aturannya, bila suntikan ke-1 dilakukan pada usia sebulan, maka jangka waktu suntikan ke-2 antara 1-2 bulan kemudian, sedangkan suntikan ke-3 boleh sampai 5 bulan kemudian.
* Campak.
Agar bayi memiliki kekebalan terhadap penyakit campak; harus dilakukan di usia 9 bulan. Biasanya setelah seminggu bisa timbul sedikit demam pada bayi, namun ini hanya efek sementara.
* HiB (Hemophilus Influenzae type B).
Tujuannya agar bayi memiliki kekebalan terhadap penyakit radang selaput otak. Imunisasi dilaksanakan 3 kali; 2 kali di bawah usia setahun dan 1 kali di atas usia setahun.
* MMR (Measles Mumps Rubella).
Untuk mencegah penyakit campak, gondongan atau campak jerman. Imunisasi dilaksanakan hanya 1 kali. Setelah hari ke-3 biasanya bayi akan panas dan timbul bintik-bintik seperti terkena campak. Namun tak usah cemas, karena bintik-bintik tersebut akan hilang sendiri. Sedangkan panasnya bisa diturunkan dengan obat penurun panas yang dapat dibeli bebas di apotik.
BAYI HARUS SEHAT
Penting diperhatikan, bayi yang hendak diimunisasi haruslah dalam kondisi benar-benar fit. Sebab, imunisasi yang dilaksanakan pada bayi tak sehat akan menjadi tak efektif atau malah berubah jadi penyakit. Jadi, Bu, bila si kecil tengah pilek, misalnya, tundalah jadwal imunisasinya sampai ia sembuh dulu dari sakitnya.
Biasanya dokter akan memberi tahu kapan bayi Ibu harus diimunisasi. Namun demikian, tak ada salahnya bila Ibu dan Bapak aktif bertanya, kapan dan imunisasi apa yang harus dilaksanakan bayi selanjutnya. Tanyakan pula apa efeknya setelah bayi menerima imunisasi tersebut dan apa yang harus Bapak-Ibu lakukan.
BILA KEJANG DEMAM
Biasanya bayi akan mengalami panas setelah menerima imunisasi DPT dan MMR. Bila panasnya tak terlalu tinggi atau hanya sekadar sumeng, tak usah khawatir. Cukup diberi obat penurun panas khusus untuk bayi yang dapat dibeli bebas di apotik.
Obat penurun panas juga dapat diberikan sebelum bayi menerima imunisasi. “Obat ini tak berbahaya dan tak akan menimbulkan efek apa-apa, karena jangka waktu bekerjanya hanya 6 jam,” terang Adi Tagor. Jadi, kalau sudah lewat waktunya dan si bayi masih panas, maka boleh diberikan lagi. Normalnya 3 kali sehari. Namun bila panasnya tinggi (38 derajat atau lebih) atau panasnya berlangsung lebih dari 2 hari, sebaiknya Bapak dan Ibu segera menghubungi dokter yang bersangkutan.
Yang penting diperhatikan, bila keluarga Anda memiliki keturunan stuip atau kejang demam; sebaiknya, sebelum bayi diimunisasi, beri tahu dokter tentang hal itu. Sebab, terang Adi, walaupun stuip bukan penyakit berbahaya, namun bila berbaur dengan imunisasi, terutama DPT, maka keadaannya akan tragis.
Selain itu, dengan Anda memberi tahu dokter, maka dokter tak akan menggunakan DPT tapi hanya DT. Jadi, tak termasuk Pertusis atau batuk rejan alias batuk 100 hari. Pertimbangannya, batuk rejan sudah jarang sekali terjadi sehingga lebih baik dilewatkan saja daripada si bayi nanti panas dan kejang.
Kadang dokter juga menggunakan DPT aceluler yang tak ada efek panasnya. Atau, tutur Adi, “sebelum suntikan DPT yang pertama, dubur bayi akan dimasukan dengan obat anti kejang. Dengan begitu, bayi akan aman sampai 6 jam. Disamping, bayi juga diberi obat penurun panas sebelum disuntik dan diulangi setiap 6 jam sekali.”
HUKUM IMUNISASI DALAM ISLAM
FATWA ULAMA TENTANG IMUNISASI
Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz
Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz ditanya : Bagaimana hukum berobat dengan imunisasi (mencegah sebelum tertimpa musibah) ?
IMUNISASI PADA BAYI
Hampir sebulan sekali bayi pasti dibawa ke dokter untuk imunisasi. Merunut peraturan WHO yang ada di UCI (Universal Child Imunization), imunisasi untuk bayi atau anak usia 0-1 tahun terdiri dari BCG, DPT, Polio, Campak, Hepatitis B dan MMR. “Khusus MMR, pemerintah kita belum mewajibkannya. Pertimbangannya, vaksin ini masih diimpor sehingga harganya relatif mahal, yaitu sekitar Rp. 120 ribu.” Nah berikut ini ada wawancara dengan dr. H. Adi Tagor, Sp.A, DPH dari RS. Pondok Indah, Jakarta.
Lebih jauh dijelaskan Adi, imunisasi sebenarnya terdiri dari 2 golongan. Golongan pertama adalah imunisasi yang harus selesai sebelum usia setahun (lihat boks Jenis Imunisasi Bayi) dan golongan kedua adalah imunisasi yang tak boleh dilaksanakan pada usia di bawah setahun.
Namun demikian, patokan usia sebagaimana yang ditulis dalam jadwal iminusasi di rumah sakit ataupun puskesmas dan poli anak maupun di buku-buku kesehatan anak, bukanlah patokan baku. Misalnya, imunisasi DPT ke-1 yang dijadwalkan pada usia 2 bulan, DPT ke-2 di usia 3 bulan dan DPT ke-3 di usia 4 bulan. Bukan berarti setiap bayi harus diimunisasi DPT pada usia-usia tersebut. Yang penting, sebelum usia setahun si bayi harus sudah diimunisasi DPT lengkap.
Memang, ada beberapa imunisasi yang sebaiknya dilakukan tepat berdasarkan umur. Misalnya, BCG, sebaiknya dilaksanakan setelah bayi berusia 1 bulan atau 1 bulan lebih 1 minggu. “Sebenarnya BCG bisa dilaksanakan sewaktu bayi berumur sehari. Namun menurut penelitian, imunisasi BCG akan efektif bila bayi sudah berumur sebulan atau sebulan lebih seminggu. Alasannya, karena imunologi terhadap BCG belum bisa bangkit dengan baik pada bayi yang baru lahir,” terangnya.
Imunisasi lain yang sebaiknya dilaksanakan tepat umur ialah Campak, yaitu di usia 9 bulan. Mengapa? Karena pada umumnya, hampir semua ibu sudah pernah kena campak. “Nah, sewaktu hamil, dia mewariskan kekebalannya pada janin yang dikandungnya melalui plasenta. Kekebalan ini bertahan hingga bayi berusia 8 bulan. Itulah mengapa vaksinasi Campak harus dilakukan di usia 9 bulan. Jadi, sebelumnya bayi masih ada kekebalan campak dari ibunya,” terang Adi.
Pentingnya HiB
Selain soal jadwal imunisasi, yang kerap membingungkan para ibu ialah imunisasi HiB (Hemophilus Influenzae type B). Pasalnya, tak setiap dokter menganjurkan imunisasi ini. Beberapa dokter memang memandang imunisasi ini tak perlu, sebab imunisasi yang dimaksudkan untuk menghindari radang selaput otak ini, selain harganya mahal, juga penyakit tersebut memang di Indonesia sangat jarang terjadi. Umumnya penyakit radang selaput otak banyak dijumpai di negeri dingin, seperti Australia, Amerika, atau negara-negara di Eropa.
Namun, bukankah pasien berhak diberi tahu atau istilah kedokterannya, informed concent? Setuju atau tak setuju dilakukan, dikembalikan pada diri orang tua si pasien. Iya, kan! Terlebih lagi, komunikasi di negeri kita sudah mengglobalisasi, terutama untuk Jakarta dan Bali. “Coba saja, bila kita berjalan-jalan di mal atau berenang, pasti kita bertemu anak bule. Nah, kalau nggak disuntik HiB bayi pun bisa terkena. Akibatnya sangat fatal, karena langsung ke selaput otak dan dapat menimbulkan kematian dengan cepat. Kalaupun sembuh, si anak bisa cacat seperti orang terkena stroke.” Jadi, sarannya, bila memang orang tua cukup mampu, apa salahnya si bayi diberi imunisasi HiB. Toh, tak ada ruginya.
Imunisasi HiB, dilaksanakan 3 kali. Dua kali dilakukan pada saat bayi berusia di bawah setahun dan sekali dilakukan di atas usia setahun. Jarak waktu imunisasi HiB yang pertama dan kedua adalah sebulan, sedangkan HiB ketiga dilakukan setelah setahun. Oleh karena itu, bila orang tua ingin mengajak bayinya pergi ke negeri dingin, sebaiknya si bayi sudah disuntik “tiga-satu”. Artinya, 3 kali di bawah usia setahun dan satu kali di atas usia setahun. Jadi, 4 kali suntikan. “Kalau mau aman, sebelum berangkat disuntik sekali lagi.”
Lho, apa nanti nggak kelebihan? Ternyata tidak. Menurut Adi, kelebihan pun nggak apa-apa. Bahkan, mau dilakukan sampai 10 kali juga nggak apa-apa. Tapi kalau sampai 3 kali dinilai sudah cukup, ya tak perlu lebih. Bukankah harganya mahal?
Hal ini juga berlaku untuk semua jenis imunisasi. Sebab imunisasi bukan obat. Kalau obat, bisa overdosis. Namun imunisasi tidak. Jadi Bu, kalau memang lupa apakah si bayi sudah diimunisasi atau belum, tak ada salahnya Ibu lakukan lagi imunisasi. “Daripada bingung-bingung, suntik saja sekali lagi, nggak akan bahaya kok malah biar safe,” kata Adi.
EFEKTIVITAS IMUNISASI
Soal tempat dilaksanakannya, imunisasi bisa di mana saja. Entah di rumah sakit, di poli anak, maupun di puskesmas. Asal jangan di rumah; tapi para dokter biasanya juga nggak berani melaksanakan imunisasi di rumah. Pasalnya vaksin untuk imunisasi harus disimpan di lemari pendingin. Jadi, kalau lampu mati sehingga lemari pendingin tak bekerja, maka vaksin-vaksin tersebut sudah tak efektif lagi.
“Di rumah sakit besar biasanya memiliki special storage atau tempat penyimpanan khusus. Juga kalau lampu mati, generator langsung hidup,” tutur Adi. Tapi toh kita tak perlu khawatir terhadap rumah sakit kecil ataupun puskesmas yang tak memiliki tempat penyimpanan khusus maupun generator. Karena kalau sampai terjadi listrik padam, maka pihak rumah sakit/puskesmas tersebut akan segera meletakkan vaksin-vaksin imunisasi di antara es batu agar tetap bisa efektif pada saat digunakan.
Lantas bagaimana mengukur efektivitas dari vaksin-vaksin tersebut? Menurut Adi, caranya dengan mengambil darah. “Tapi hal ini jarang dilakukan karena biayanya yang terlalu mahal.” Namun ada beberapa imunisasi yang jelas-jelas bisa diukur; antara lain imunisasi BCG. “Suntikan ini akan membuat suatu tanda seperti ‘bisul’ kecil di tempat yang disuntik, entah itu di lengan kanan atau pantat sebelah kiri.”
Nah, bila “bisul” tersebut tak muncul berarti imunisasinya gagal dan harus diulang. Pengulangan bisa dilakukan kapan saja. “Tapi sebaiknya sebelum usia setahun. Karena setelah usia setahun, biasanya anak sudah banyak dibawa ke mana-mana sehingga bisa tertular TBC. Bukankah data TBC di Indonesia masih yang tertinggi di dunia, seperti juga di India dan Bangladesh? Nah, bila anak tak diproteksi, maka ia akan gampang terkena TBC,” jelas Adi.
Selain BCG, imunisasi Hepatitis B juga bisa diukur dengan cara yang tak terlalu mahal, yaitu dengan cara mengecek kadar Hepatitis B-nya setelah anak berusia setahun.” Dari hasil tes dokter akan mendapat angka. Di atas 1000 berarti daya tahannya 8 tahun; di atas 500 tahan 5 tahun; di atas 200 tahan 3 tahun. Tapi kalau angkanya cuma 100 maka dalam setahun akan hilang. Sementara bila angkanya nol berarti si bayi harus disuntik ulang 3 kali lagi.
Yang patut disadari orang tua, imunisasi tak bisa memproteksi bayi hingga 100 persen. “Bila bayi bisa terproteksi sampai 80 persen saja, itu sudah bagus; karena banyak hal yang memperngaruhi imunisasi, salah satunya adalah gizi dan kesehatan bayi.” Selain itu, efektivitas imunisasi hanya bertahan sekitar 5-10 tahun. Jadi di antara usia tersebut anak perlu diimunisasi lagi atau istilahnya booster (penguat).
JENIS IMUNISASI (0-1 TAHUN)
* BCG (Bacille Calmette Guerin).
Manfaatnya untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit TBC (tuberkolosis); diberikan hanya 1 kali. Usia efektif dilakukannya imunisasi pada 1 bulan atau 1 bulan 1 minggu. Suntikan ini akan menampakkan “bisul” kecil di daerah yang disuntik. Bila tidak, harus dilakukan suntikan ulang. Sayang memang mayoritas anak kecil diberi “scar” pada kulitnya; tapi……… proteksi dari penyakit TBC yang di Indonesia adalah salah satu peringkat tertinggi di dunia dinilai jauh, jauh, jauh lebih penting dibanding sekedar “bisul” kecil pada kulit sang anak.
* DPT (Difteri Pertusis Tetanus) + Polio.
Untuk mencegah timbulnya penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Biasanya setelah 6 jam bayi akan mengalami panas atau timbul uneasy feeling seperti tak mau makan atau murung. Tapi ini hanya efek sementara.
DPT bisa digabungkan dengan Polio, sehingga imunisasi menjadi DPT Polio. Imunisasinya dilaksanakan sebanyak 4 kali; 3 kali di bawah usia setahun dan 1 kali di atas usia setahun.
* Hepatitis B.
Agar bayi memiliki kekebalan terhadap penyakit hepatitis B. Imunisasinya dilakukan sebanyak 3 kali. Aturannya, bila suntikan ke-1 dilakukan pada usia sebulan, maka jangka waktu suntikan ke-2 antara 1-2 bulan kemudian, sedangkan suntikan ke-3 boleh sampai 5 bulan kemudian.
* Campak.
Agar bayi memiliki kekebalan terhadap penyakit campak; harus dilakukan di usia 9 bulan. Biasanya setelah seminggu bisa timbul sedikit demam pada bayi, namun ini hanya efek sementara.
* HiB (Hemophilus Influenzae type B).
Tujuannya agar bayi memiliki kekebalan terhadap penyakit radang selaput otak. Imunisasi dilaksanakan 3 kali; 2 kali di bawah usia setahun dan 1 kali di atas usia setahun.
* MMR (Measles Mumps Rubella).
Untuk mencegah penyakit campak, gondongan atau campak jerman. Imunisasi dilaksanakan hanya 1 kali. Setelah hari ke-3 biasanya bayi akan panas dan timbul bintik-bintik seperti terkena campak. Namun tak usah cemas, karena bintik-bintik tersebut akan hilang sendiri. Sedangkan panasnya bisa diturunkan dengan obat penurun panas yang dapat dibeli bebas di apotik.
BAYI HARUS SEHAT
Penting diperhatikan, bayi yang hendak diimunisasi haruslah dalam kondisi benar-benar fit. Sebab, imunisasi yang dilaksanakan pada bayi tak sehat akan menjadi tak efektif atau malah berubah jadi penyakit. Jadi, Bu, bila si kecil tengah pilek, misalnya, tundalah jadwal imunisasinya sampai ia sembuh dulu dari sakitnya.
Biasanya dokter akan memberi tahu kapan bayi Ibu harus diimunisasi. Namun demikian, tak ada salahnya bila Ibu dan Bapak aktif bertanya, kapan dan imunisasi apa yang harus dilaksanakan bayi selanjutnya. Tanyakan pula apa efeknya setelah bayi menerima imunisasi tersebut dan apa yang harus Bapak-Ibu lakukan.
BILA KEJANG DEMAM
Biasanya bayi akan mengalami panas setelah menerima imunisasi DPT dan MMR. Bila panasnya tak terlalu tinggi atau hanya sekadar sumeng, tak usah khawatir. Cukup diberi obat penurun panas khusus untuk bayi yang dapat dibeli bebas di apotik.
Obat penurun panas juga dapat diberikan sebelum bayi menerima imunisasi. “Obat ini tak berbahaya dan tak akan menimbulkan efek apa-apa, karena jangka waktu bekerjanya hanya 6 jam,” terang Adi Tagor. Jadi, kalau sudah lewat waktunya dan si bayi masih panas, maka boleh diberikan lagi. Normalnya 3 kali sehari. Namun bila panasnya tinggi (38 derajat atau lebih) atau panasnya berlangsung lebih dari 2 hari, sebaiknya Bapak dan Ibu segera menghubungi dokter yang bersangkutan.
Yang penting diperhatikan, bila keluarga Anda memiliki keturunan stuip atau kejang demam; sebaiknya, sebelum bayi diimunisasi, beri tahu dokter tentang hal itu. Sebab, terang Adi, walaupun stuip bukan penyakit berbahaya, namun bila berbaur dengan imunisasi, terutama DPT, maka keadaannya akan tragis.
Selain itu, dengan Anda memberi tahu dokter, maka dokter tak akan menggunakan DPT tapi hanya DT. Jadi, tak termasuk Pertusis atau batuk rejan alias batuk 100 hari. Pertimbangannya, batuk rejan sudah jarang sekali terjadi sehingga lebih baik dilewatkan saja daripada si bayi nanti panas dan kejang.
Kadang dokter juga menggunakan DPT aceluler yang tak ada efek panasnya. Atau, tutur Adi, “sebelum suntikan DPT yang pertama, dubur bayi akan dimasukan dengan obat anti kejang. Dengan begitu, bayi akan aman sampai 6 jam. Disamping, bayi juga diberi obat penurun panas sebelum disuntik dan diulangi setiap 6 jam sekali.”
HUKUM IMUNISASI DALAM ISLAM
FATWA ULAMA TENTANG IMUNISASI
Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz
Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz ditanya : Bagaimana hukum berobat dengan imunisasi (mencegah sebelum tertimpa musibah) ?
Jawaban:
La ba’sa (tidak masalah) berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa penyakit karena adanya wabah* atau sebab-sebab lainnya. Juga tidak masalah untuk menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih, artinya : “Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”. Ini termasuk tindakan menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika dikhawatirkan timbulnya suatu penyakit dan dilakukan immunisasi untuk melawan penyakit yang muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah, karena hal itu termasuk tindakan pencegahan. Sebagaimana penyakit yang datang diobati, demikian juga penyakit yang dikhawatirkan kemunculannya.
Tapi tidak boleh berobat dengan menggunakan jimat-jimat untuk menghindari penyakit, jin atau pengaruh mata yang jahat. Karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari perbuatan itu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menjelaskan bahwa hal itu termasuk syirik kecil, sehingga sudah kewajiban kita untuk harus menghindarinya.
[Fatawa Syaikh Abdullah bin Baaz**. Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427/2006M. Dikutip dari kitab Al-Fatawa Al-Muta’alliqah bi Ath-Thibbi wa Ahkami Al-Mardha, hal. 203. Darul Muayyad, Riyadh]
Tentang Imunisasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), imunisasi diartikan “pengebalan” (terhadap penyakit). Kalau dalam istilah kesehatan, imunisasi diartikan pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu. Biasanya imunisasi bisa diberikan dengan cara disuntikkan maupun diteteskan pada mulut anak balita (bawah lima tahun).
Vaksin adalah bibit penyakit (misal cacar) yang sudah dilemahkan, digunakan untuk vaksinasi.2 Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi terhadap penyakit. Vaksin tidak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu membasmi penyakit yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak.
Imunisasi memiliki beberapa jenis, di antaranya Imunisasi BCG, Imunisasi DPT, Imunisasi DT, Imunisasi TT, imunisasi Campak, Imunisasi MMR, Imunisasi Hib, Imunisasi Varicella, Imunisasi HBV, Imunisasi Pneumokokus Konjugata. Perinciannya bisa dilihat dalam buku-buku kedokteran, intinya jenis imunisasi sesuai dengan penyakit yang perlu dihindari.
Vaksin secara umum cukup aman. Keuntungan perlindungan yang diberikan vaksin jauh lebih besar daripada efek samping yang mungkin timbul. Dengan adanya vaksin maka banyak penyakit masa kanak-kanak yang serius, yang sekarang ini sudah jarang ditemukan.3
Jadi, imunisasi merupakan penemuan kedokteran yang sangat bagus dan manfaatnya besar sekali dalam membentengi diri dari berbagai penyakit kronis, padahal biayanya relatif murah.4
Hukum Asal Imunisasi
Imunisasi hukumnya boleh dan tidak terlarang, karena termasuk penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia akan terhindar sehari itu dari racun dan sihir” (HR. Bukhari : 5768, Muslim : 4702).
Hadits ini menunjukkan secara jelas tentang disyari’atkannya mengambil sebab untuk membentengi diri dari penyakit sebelum terjadi.5 Demikian juga kalau dikhawatirkan terjadi wabah yang menimpa maka hukumnya boleh sebagaimana halnya boleh berobat tatkala terkena penyakit.6
CONTOH VAKSIN POLIO
Penggunaan Vaksin Polio Khusus (IPV). Setelah sekelumit informasi tentang imunisasi di atas, sekarang kita masuk kepada permasalahan inti yang menjadi polemik hangat akhir-akhir ini, yaitu imunisasi dengan menggunakan vaksin polio khusus (IPV) yang dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari babi. Bagaimanakah gambaran permasalahan yang sebenarnya ? Dan bagaimanakah status hukumnya?
Hadits ini menunjukkan secara jelas tentang disyari’atkannya mengambil sebab untuk membentengi diri dari penyakit sebelum terjadi.5 Demikian juga kalau dikhawatirkan terjadi wabah yang menimpa maka hukumnya boleh sebagaimana halnya boleh berobat tatkala terkena penyakit.6
CONTOH VAKSIN POLIO
Penggunaan Vaksin Polio Khusus (IPV). Setelah sekelumit informasi tentang imunisasi di atas, sekarang kita masuk kepada permasalahan inti yang menjadi polemik hangat akhir-akhir ini, yaitu imunisasi dengan menggunakan vaksin polio khusus (IPV) yang dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari babi. Bagaimanakah gambaran permasalahan yang sebenarnya ? Dan bagaimanakah status hukumnya?
A.Gambaran Permasalahan
Berdasarkan surat Menteri Kesehatan RI Nomor: 1192/MENKES/IX/2002, tanggal 24 September 2002, serta penjelasan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan, Direktur Bio Farma, Badan POM, LP POM-MUI, pada rapat Komisi Fatwa, Selasa, 1 Sya’ban 1423 / 8 Oktober 2002; dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.Pemerintah saat ini sedang berupaya melakukan pembasmian penyakit polio dari masyarakat secara serentak dengan cara pemberian dua tetes vaksin Polio oral (melalui saluran pencernaan).
2.Penyakit (virus) Polio, jika tidak ditanggulangi, akan menyebabkan cacat fisik (kaki pincang) pada mereka yang menderitanya.
3.Terdapat sejumlah anak balita yang menderita immunocompromise (kelainan sistem kekebalan tubuh) yang memerlukan vaksin khusus yang diberikan secara injeksi (vaksin jenis suntik).
4.Jika anak-anak yang menderita immunocompromise tersebut tidak diimunisasi maka mereka akan menderita penyakit Polio serta sangat dikhawatirkan pula mereka akan menjadi sumber penyebaran virus.
5.Vaksin khusus tersebut (IPV) dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi unsur babi.
6.Sampai saat ini belum ada IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin tersebut dan jika diproduksi sendiri maka diperlukan investasi (biaya/modal) sangat besar sementara kebutuhannya sangat terbatas. 7
B.Jembatan Menuju Jawaban
Untuk sampai kepada status hukum imunisasi model di atas, kami memandang penting untuk memberikan jembatan terlebih dahulu dengan memahami beberapa masalah dan kaidah berikut, setelah itu kita akan mengambil suatu kesimpulan hukum.5
1.Masalah Istihalah
Maksud Istihalah di sini adalah berubahnya suatu benda yang najis atau haram menjadi benda lain yang berbeda nama dan sifatnya. Seperti khamr berubah menjadi cuka, bai menjadi garam, minyak menjadi sabun, dan sebagainya.9
Apakah benda najis yang telah berubah nama dan sifatnya tadi bisa menjadi suci? Masalah ini diperselisihkan ulama, hanya saya pendapat yang kuat menurut kami bahwa perubahan tersebut bisa menjadikannya suci, dengan dalil-dalil berikut :
a.Ijma’ (kesepakatan) ahli ilmu bahwa khomr apabila berubah menjadi cuka maka menjadi suci.
b.Pendapat mayoritas ulama bahwa kulit bangkai bisa suci dengan disamak, berdasarkan sabda Nabi “ Kulit bangkai jika disamak maka ia menjadi suci.” ( Lihat Shohihul-Jami’ : 2711)
c.Benda-benda baru tersebut – setelah perubahan – hukum asalnya adalah suci dan halal, tidak ada dalil yang menajiskan dan mengharamkannya.
Pendapat ini merupakan madzhab Hanafiyyah dan Zhohiriyyah10, salah satu pendapat adalah madzhab Malik dan Ahmad11. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah12, Inul Qoyyim, asy-Syaukani13, dan lain-lain.14
Alangkah bagusnya ucapan Imam Ibnul-Qoyyim : “Sesungguhnya benda suci apabila berubah menjadi najis maka hukumnya najis, seperti air dan makanan apabila telah berubah menjadi air seni dan kotoran. Kalau benda suci bisa berubah najis, lantas bagaimana mungkin benda najis tidak bisa berubah menjadi suci? Allah telah mengeluarkan benda suci dari kotoran dan benda kotor dari suci. Benda asal bukanlah patokan. Akan tetapi, yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang. Mustahil benda tetap dihukumi najis padahal nama dan sifatnya telah tidak ada, padahal hukum itu mengikuti nama dan sifatnya.”15
2.Masalah Istihlak
Maksud Istihlak di sini adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan hal yang lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharamannya, baik rasa, warna, dan baunya.
Apabila benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut bisa menjadi suci? Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci, berdasarkan dalil berikut : “Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” (Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:14)
“Apabila air telah mencapai dua qullah maka tidak najis.”(Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:23).
Dua hadits di atas menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram apabila bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakn warna atau baunya maka dia menjadi suci. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang memperhatikan dalil-dalil yang disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa pendapat ini paling benar, sebab najisnya air dan cairan tanpa bisa berubah, sangat jauh dari logika.”16 Oleh karenanya, seandainnya ada seseorang yang meminum khomr yang bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat khomr-nya hilang maka dia tidak dihukumi minum khomr. Demikian juga, bila ada seorang bayi diberi minum ASI (air susu ibu) yang telah bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat susunya hilang maka dia tidak dihukumi sebagai anak persusuannya.”17
3.Dhorurat dalam Obat
Dhorurat (darurat) adalah suatu keadaan terdesak untuk menerjang keharaman, yaitu ketika seorang memilki keyakinan bahwa apabila dirinya tidak menerjang larangan tersebut niscaya akan binasa atau mendapatkan bahaya besar pada badanya, hartanya atau kehormatannya. Dalam suatu kaidah fiqhiyyah dikatakan:
“Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang”
Namun kaidah ini harus memenuhi dua persyaratan: tidak ada pengganti lainya yang boleh (mubah/halal) dan mencukupkan sekadar untuk kebutuhan saja.
Oleh karena itu, al-Izzu bin Abdus Salam mengatakan : “Seandainya seorang terdesak untuk makan barang najis maka dia harus memakannya, sebab kerusakan jiwa dan anggota badan lebih besar daripada kerusakan makan barang najis.”20
4.Kemudahan Saat Kesempitan
Sesungguhnya syari’at islam ini dibangun di atas kemudahan. Banyak sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, bahkan Imam asy-Syathibi mengatakan: “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti”.20
Semua syari’at itu mudah. Namun, apabila ada kesulitan maka akan ada tambahan kemudahan lagi. Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syafi’i tatkala berkata :“Kaidah syari’at itu dibangun (di atas dasar) bahwa segala sesuatu apabila sempit maka menjadi luas.”21
5.Hukum Berobat dengan sesuatu yang Haram
Masalah ini terbagi menjadi dua bagian :
a.Berobat dengan khomr adalah haram sebagaimana pendapat mayoritas ulama, berdasarkan dalil :“Sesungguhnya khomr itu bukanlah obat melainkan penyakit.” (HR. Muslim:1984)Hadist ini merupakan dalil yang jelas tentang haramnya khomr dijadikan sebagai obat.22
b.Berobat dengan benda haram selain khomr. Masalah ini diperselisihkan ulama menjadi dua pendapat :
Pertama: Boleh dalam kondisi darurat. Ini pendapat Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Ibnu Hazm.23 Di antara dalil mereka adalah keumuman firman Allah :... Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.... (QS. Al- An’am [6]:119)
Demikian juga Nabi membolehkan sutera bagi orang yang terkena penyakit kulit, Nabi membolehkan emas bagi sahabat arfajah untuk menutupi aibnya, dan bolehnya orang yang sedang ihrom untuk mencukur rambutnya apabila ada penyakit di rambutnya.
Kedua: Tidak boleh secara mutlak. Ini adalah madzab Malikiyyah dan Hanabillah.24 Di antara dalil mereka adalah sabda Nabi :“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram” (ash-Shohihah:4/174)
Alasan lainnya karena berobat hukumnya tidak wajib menurut jumhur ulama, dan karena sembuh dengan berobat bukanlah perkara yang yakin.
Pendapat yang kuat: Pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi darurat, yaitu apabila penyakit dan obatnya memenuhi kriteria sebagai berikut :1)Penyakit tersebut penyakit yang harus diobati, 2)Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.3)Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.25
6.Fatwa-fatwa
Dalam kasus imunisasi jenis ini, kami mendapatkan dua fatwa yang kami pandang perlu kami nukil di sini :
a.Fatwa Majelis Eropa Lil-Ifta’ wal-Buhuts
Dalam ketetapan mereka tentang masalah ini dikatakan: “Setelah Majelis mempelajari masalah ini secara teliti dan menimbang tujuan-tujuan syari’at, kaidah-kaidah fiqih serta ucapan para ahli fiqih, maka Majelis menetapkan :
1) Penggunaan vaksin ini telah diakui manfaatnya oleh kedokteran yanitu melindungi anak-anak dari cacat fisik (kepincangan) dengan izin Allah. Sebagaimana belum ditemukan adanya pengganti lainnya hingga sekarang. Oleh karena itu, menggunakannya sebagai obat dan imunisasi hukumnya boleh, karena bila tidak maka akan terjadi bahaya yang cukup besar. Sesungguhnya pinti fiqih luas memberikan toleransi dari perkara najis- kalau kita katakan bahwa cairan (vaksin) itu najis- apabila terbukti bahwa cairan najis ini telah lebur denga memperbanyak benda-benda lainnya. Ditambah lagi bahwa keadaan ini masuk dalam kategori darurat atau hajat yang sederajat dengan darurat, sedangkan termasuk perkara yang dimaklumi bersama bahwa tujuan syari’at yang paling penting adalah menumbuhkan maslahat dan membedung mafsadat.
2) Majelis mewasiatkan kepada para pemimpin kaum muslimin dan pemimpin markaz agar mereka tidak bersikap keras dalam masalah ijtihadiyyah (berada dalam ruang lingkup ijtihad) seperti ini yang sangat membawa maslahat yang besar bagi anak-anak muslim selagi tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas.26
b.Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Majelis Ulama Indonesia dalam rapat pada 1 Sya’ban 1423H, setelah mendiskusikan masalah ini mereka menetapkan :
1). Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal dari – atau mengandung- benda najis ataupun benda terkena najis adalah haram.
2). Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal.27
C.Kesimpulan dan Penutup
Setelah keterangan singkat di atas, kami yakin pembaca sudah bisa menebak kesimpulan kami tentang hukum imunisasi IPV ini, yaitu kami memandang bolehnya imunisasi jenis ini dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1.Imunisasi ini sangat dibutuhkan sekali sebagaimana penelitian ilmu kedokteran.
2.Bahan haram yang ada telah lebur dengan bahan-bahan lainnya.
3.Belum ditemukan pengganti lainnya yang mubah.
4.Hal ini termasuk dalam kondisi darurat.
5.Sesuai dengan kemudahan syari’at di kala ada kesulitan.
Demikianlah hasil analisis kami tentang masalah ini, maka janganlah kita meresahkan masyarakat dengan kebingungan kita tentang masalah ini. Namun seperti yang kami isyarakatkan di muka bahwa pembahasan ini belumlah titik, masih terbuka bagi semuanya untuk mencurahkan pengetahuan dan penelitian baik sari segi ilmu medis maupun ilmu syar’i agar bisa sampai kepada hukum yang sangat jelas. Kita memohon kepada Allah agar menambahkan bagi kita ilmu yang bermanfaat. Amin.
Daftar Referensi 1.Ahkamul-Adwiyah Fi syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan bin ahmad al-Fakki, terbetin Darul-Minhaj, KSA, cet. Pertama 1425H.2.Al-Mawad al-Muharromah wa Najasah fil Ghidza’wad-Dawa’ kar. Dr. Nazih ahmad, terbitan Darul –Qolam, damaskus, cet. Pertama 1425 H.3.Fiqih Shoidali Muslimin kar. Dr. Kholid abu Zaid ath-Thomawi, terbitan Dar shuma’i, KSA, cet. Pertama 1428 H4.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia5.dan lain-lain
Catatan Kaki :1.Al-Mawad al-Muharromah wan-Najasah Fil-Ghidza’ wad-Dawa’ kar. Dr. Nazih Hammad hlm. 7-82.KBBI Edisi Ke tiga Cetakan ketiga 2005 hlm. 1258.3.Sumber:medicastore.com. Lihat pula al-Adwa kar. Ali al-Bar hlm. 126, Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan al-Fakki hlm. 128.4.Ahkamu Tadawi kar. Ali al-Bar hlm. 22 5.Ibnul-Arobi berkata: “Menurutku bila seorang mengetahui sebab penyakit dan khawatir terkena olehnya, maka boleh baginya untuk membendungnya dengan obat.” (al-Qobas: 3/1129)6.Majmu’ Fatawa wa Maqolat Syaikh Ibnu Baz: 6/267.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 3698.Lihat Al-Mawad al-Muharromah wan-Najasah hlm. 16-38, Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah hlm. 187-195, Fiqh Shoidali al-Muslim kar. Dr. Khalid abu Zaid hlm. 72-84.9.Lihat Hasyiyah Ibni Abidin:1/21010.Roddul-Mukhtar’: 1/217, al-Muhalla: 7/42211.al-Majmu’: 2/572 dan al-Mughni: 2/50312.Al-Ikhtiyorot al-Fiqhiyyah hlm. 2313.Sailul-Jarror: 1/5214.Lihat masalah ini secara luas dalam kitab al-Istihalah wa ahkamuha Fil-Fiqh Islami kar. Dr. Qodhafi ‘Azzat al-Ghonanim.15.I’lamul-Muwaqqi’in: 1/39416.Majmu’ Fatawa: 21/508, al-Fatawa al-Kubro: 1.25617.Al-Fatawa al-Kubro kar. Ibnu Taimiyyah: 1/143, Taqrirul-Qowa’id kar. Ibnu Rojab: 1/17318.Al-asybah wan-Nazho’ir Ibnu Nujaim hlm. 94 dan al-Asybah wan-Nazho’ir as-Suyuthi hlm. 8419.Qowa’idul-Ahkam hlm. 14120.Al-Muwafaqot kar. Asy-Syathibi: 1/23121.Qowa’idul-Ahkam hlm. 6022.Syarh Shohih Muslim kar. An-Nawawi: 13/153, Ma’alim Sunan kar. Al-Khoththobi: 4/20523.Lihat Hasyiyah Ibni Abidin: 4/215, al-Majmu’ kar. An-Nawawi: 9/50, al-Muhalla kar. Ibnu Hazm: 7/42624.Lihat al-Kafi kar. Ibnu Abdil Barr hlm. 440, 1142, al-Mughni kar. Ibnu Qudamah: 8/60525.Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah hlm. 187. 26.Website Majlis Eropa Lil Ifta’wal Buhuts/www.e-cfr.org, dinukil dari kitab Fiqh Shoidali al-Muslim hlm. 107.27.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 370.
Pendapat ini merupakan madzhab Hanafiyyah dan Zhohiriyyah10, salah satu pendapat adalah madzhab Malik dan Ahmad11. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah12, Inul Qoyyim, asy-Syaukani13, dan lain-lain.14
Alangkah bagusnya ucapan Imam Ibnul-Qoyyim : “Sesungguhnya benda suci apabila berubah menjadi najis maka hukumnya najis, seperti air dan makanan apabila telah berubah menjadi air seni dan kotoran. Kalau benda suci bisa berubah najis, lantas bagaimana mungkin benda najis tidak bisa berubah menjadi suci? Allah telah mengeluarkan benda suci dari kotoran dan benda kotor dari suci. Benda asal bukanlah patokan. Akan tetapi, yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang. Mustahil benda tetap dihukumi najis padahal nama dan sifatnya telah tidak ada, padahal hukum itu mengikuti nama dan sifatnya.”15
2.Masalah Istihlak
Maksud Istihlak di sini adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan hal yang lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharamannya, baik rasa, warna, dan baunya.
Apabila benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut bisa menjadi suci? Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci, berdasarkan dalil berikut : “Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” (Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:14)
“Apabila air telah mencapai dua qullah maka tidak najis.”(Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:23).
Dua hadits di atas menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram apabila bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakn warna atau baunya maka dia menjadi suci. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang memperhatikan dalil-dalil yang disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa pendapat ini paling benar, sebab najisnya air dan cairan tanpa bisa berubah, sangat jauh dari logika.”16 Oleh karenanya, seandainnya ada seseorang yang meminum khomr yang bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat khomr-nya hilang maka dia tidak dihukumi minum khomr. Demikian juga, bila ada seorang bayi diberi minum ASI (air susu ibu) yang telah bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat susunya hilang maka dia tidak dihukumi sebagai anak persusuannya.”17
3.Dhorurat dalam Obat
Dhorurat (darurat) adalah suatu keadaan terdesak untuk menerjang keharaman, yaitu ketika seorang memilki keyakinan bahwa apabila dirinya tidak menerjang larangan tersebut niscaya akan binasa atau mendapatkan bahaya besar pada badanya, hartanya atau kehormatannya. Dalam suatu kaidah fiqhiyyah dikatakan:
“Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang”
Namun kaidah ini harus memenuhi dua persyaratan: tidak ada pengganti lainya yang boleh (mubah/halal) dan mencukupkan sekadar untuk kebutuhan saja.
Oleh karena itu, al-Izzu bin Abdus Salam mengatakan : “Seandainya seorang terdesak untuk makan barang najis maka dia harus memakannya, sebab kerusakan jiwa dan anggota badan lebih besar daripada kerusakan makan barang najis.”20
4.Kemudahan Saat Kesempitan
Sesungguhnya syari’at islam ini dibangun di atas kemudahan. Banyak sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, bahkan Imam asy-Syathibi mengatakan: “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti”.20
Semua syari’at itu mudah. Namun, apabila ada kesulitan maka akan ada tambahan kemudahan lagi. Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syafi’i tatkala berkata :“Kaidah syari’at itu dibangun (di atas dasar) bahwa segala sesuatu apabila sempit maka menjadi luas.”21
5.Hukum Berobat dengan sesuatu yang Haram
Masalah ini terbagi menjadi dua bagian :
a.Berobat dengan khomr adalah haram sebagaimana pendapat mayoritas ulama, berdasarkan dalil :“Sesungguhnya khomr itu bukanlah obat melainkan penyakit.” (HR. Muslim:1984)Hadist ini merupakan dalil yang jelas tentang haramnya khomr dijadikan sebagai obat.22
b.Berobat dengan benda haram selain khomr. Masalah ini diperselisihkan ulama menjadi dua pendapat :
Pertama: Boleh dalam kondisi darurat. Ini pendapat Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Ibnu Hazm.23 Di antara dalil mereka adalah keumuman firman Allah :... Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.... (QS. Al- An’am [6]:119)
Demikian juga Nabi membolehkan sutera bagi orang yang terkena penyakit kulit, Nabi membolehkan emas bagi sahabat arfajah untuk menutupi aibnya, dan bolehnya orang yang sedang ihrom untuk mencukur rambutnya apabila ada penyakit di rambutnya.
Kedua: Tidak boleh secara mutlak. Ini adalah madzab Malikiyyah dan Hanabillah.24 Di antara dalil mereka adalah sabda Nabi :“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram” (ash-Shohihah:4/174)
Alasan lainnya karena berobat hukumnya tidak wajib menurut jumhur ulama, dan karena sembuh dengan berobat bukanlah perkara yang yakin.
Pendapat yang kuat: Pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi darurat, yaitu apabila penyakit dan obatnya memenuhi kriteria sebagai berikut :1)Penyakit tersebut penyakit yang harus diobati, 2)Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.3)Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.25
6.Fatwa-fatwa
Dalam kasus imunisasi jenis ini, kami mendapatkan dua fatwa yang kami pandang perlu kami nukil di sini :
a.Fatwa Majelis Eropa Lil-Ifta’ wal-Buhuts
Dalam ketetapan mereka tentang masalah ini dikatakan: “Setelah Majelis mempelajari masalah ini secara teliti dan menimbang tujuan-tujuan syari’at, kaidah-kaidah fiqih serta ucapan para ahli fiqih, maka Majelis menetapkan :
1) Penggunaan vaksin ini telah diakui manfaatnya oleh kedokteran yanitu melindungi anak-anak dari cacat fisik (kepincangan) dengan izin Allah. Sebagaimana belum ditemukan adanya pengganti lainnya hingga sekarang. Oleh karena itu, menggunakannya sebagai obat dan imunisasi hukumnya boleh, karena bila tidak maka akan terjadi bahaya yang cukup besar. Sesungguhnya pinti fiqih luas memberikan toleransi dari perkara najis- kalau kita katakan bahwa cairan (vaksin) itu najis- apabila terbukti bahwa cairan najis ini telah lebur denga memperbanyak benda-benda lainnya. Ditambah lagi bahwa keadaan ini masuk dalam kategori darurat atau hajat yang sederajat dengan darurat, sedangkan termasuk perkara yang dimaklumi bersama bahwa tujuan syari’at yang paling penting adalah menumbuhkan maslahat dan membedung mafsadat.
2) Majelis mewasiatkan kepada para pemimpin kaum muslimin dan pemimpin markaz agar mereka tidak bersikap keras dalam masalah ijtihadiyyah (berada dalam ruang lingkup ijtihad) seperti ini yang sangat membawa maslahat yang besar bagi anak-anak muslim selagi tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas.26
b.Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Majelis Ulama Indonesia dalam rapat pada 1 Sya’ban 1423H, setelah mendiskusikan masalah ini mereka menetapkan :
1). Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal dari – atau mengandung- benda najis ataupun benda terkena najis adalah haram.
2). Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal.27
C.Kesimpulan dan Penutup
Setelah keterangan singkat di atas, kami yakin pembaca sudah bisa menebak kesimpulan kami tentang hukum imunisasi IPV ini, yaitu kami memandang bolehnya imunisasi jenis ini dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1.Imunisasi ini sangat dibutuhkan sekali sebagaimana penelitian ilmu kedokteran.
2.Bahan haram yang ada telah lebur dengan bahan-bahan lainnya.
3.Belum ditemukan pengganti lainnya yang mubah.
4.Hal ini termasuk dalam kondisi darurat.
5.Sesuai dengan kemudahan syari’at di kala ada kesulitan.
Demikianlah hasil analisis kami tentang masalah ini, maka janganlah kita meresahkan masyarakat dengan kebingungan kita tentang masalah ini. Namun seperti yang kami isyarakatkan di muka bahwa pembahasan ini belumlah titik, masih terbuka bagi semuanya untuk mencurahkan pengetahuan dan penelitian baik sari segi ilmu medis maupun ilmu syar’i agar bisa sampai kepada hukum yang sangat jelas. Kita memohon kepada Allah agar menambahkan bagi kita ilmu yang bermanfaat. Amin.
Daftar Referensi 1.Ahkamul-Adwiyah Fi syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan bin ahmad al-Fakki, terbetin Darul-Minhaj, KSA, cet. Pertama 1425H.2.Al-Mawad al-Muharromah wa Najasah fil Ghidza’wad-Dawa’ kar. Dr. Nazih ahmad, terbitan Darul –Qolam, damaskus, cet. Pertama 1425 H.3.Fiqih Shoidali Muslimin kar. Dr. Kholid abu Zaid ath-Thomawi, terbitan Dar shuma’i, KSA, cet. Pertama 1428 H4.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia5.dan lain-lain
Catatan Kaki :1.Al-Mawad al-Muharromah wan-Najasah Fil-Ghidza’ wad-Dawa’ kar. Dr. Nazih Hammad hlm. 7-82.KBBI Edisi Ke tiga Cetakan ketiga 2005 hlm. 1258.3.Sumber:medicastore.com. Lihat pula al-Adwa kar. Ali al-Bar hlm. 126, Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan al-Fakki hlm. 128.4.Ahkamu Tadawi kar. Ali al-Bar hlm. 22 5.Ibnul-Arobi berkata: “Menurutku bila seorang mengetahui sebab penyakit dan khawatir terkena olehnya, maka boleh baginya untuk membendungnya dengan obat.” (al-Qobas: 3/1129)6.Majmu’ Fatawa wa Maqolat Syaikh Ibnu Baz: 6/267.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 3698.Lihat Al-Mawad al-Muharromah wan-Najasah hlm. 16-38, Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah hlm. 187-195, Fiqh Shoidali al-Muslim kar. Dr. Khalid abu Zaid hlm. 72-84.9.Lihat Hasyiyah Ibni Abidin:1/21010.Roddul-Mukhtar’: 1/217, al-Muhalla: 7/42211.al-Majmu’: 2/572 dan al-Mughni: 2/50312.Al-Ikhtiyorot al-Fiqhiyyah hlm. 2313.Sailul-Jarror: 1/5214.Lihat masalah ini secara luas dalam kitab al-Istihalah wa ahkamuha Fil-Fiqh Islami kar. Dr. Qodhafi ‘Azzat al-Ghonanim.15.I’lamul-Muwaqqi’in: 1/39416.Majmu’ Fatawa: 21/508, al-Fatawa al-Kubro: 1.25617.Al-Fatawa al-Kubro kar. Ibnu Taimiyyah: 1/143, Taqrirul-Qowa’id kar. Ibnu Rojab: 1/17318.Al-asybah wan-Nazho’ir Ibnu Nujaim hlm. 94 dan al-Asybah wan-Nazho’ir as-Suyuthi hlm. 8419.Qowa’idul-Ahkam hlm. 14120.Al-Muwafaqot kar. Asy-Syathibi: 1/23121.Qowa’idul-Ahkam hlm. 6022.Syarh Shohih Muslim kar. An-Nawawi: 13/153, Ma’alim Sunan kar. Al-Khoththobi: 4/20523.Lihat Hasyiyah Ibni Abidin: 4/215, al-Majmu’ kar. An-Nawawi: 9/50, al-Muhalla kar. Ibnu Hazm: 7/42624.Lihat al-Kafi kar. Ibnu Abdil Barr hlm. 440, 1142, al-Mughni kar. Ibnu Qudamah: 8/60525.Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah hlm. 187. 26.Website Majlis Eropa Lil Ifta’wal Buhuts/www.e-cfr.org, dinukil dari kitab Fiqh Shoidali al-Muslim hlm. 107.27.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 370.
Sumber:
Bagus ni um, boleh dishare ke ummahat, byk yg takut mengimunisasi anaknya hanya karena 'katanya-katanya...'Lanjuuut...!! =)
BalasHapusiya ukh, silakan, smg bs mberi pandangan...
BalasHapus